Rabu, 28 Mei 2014

Fanfiction 5: Fuyuri



Di awal musim dingin itu saat pertama kalinya kita bertemu. Saling bertengkar satu sama lain dan mengakhiri hubungan kita dengan begitu akrab.
Kalau saja hal itu tidak pernah terjadi, aku pasti tak akan sendirian sekarang.
Kau begitu menyebalkan. Meninggalkanku tanpa mendapat izin dariku.

Disclaimer: Inazuma Eleven selalu jadi milik LEVEL-5, aku Cuma Author narsis kurang kerja yang minjem tokohnya doing.
Summary: Masih ingatkah kau dengan kenangan yang telah kau tinggalkan denganku? Kuharap waktu dapat kembali lagi agar kita dapat mengulangi kembali kenangan indah itu.
Warning: OOC, OOT, Alur acak-acakan, aneh.
Note: full of Midorikawa's POV, Please Review, Author butuh pencerahan Q_Q. Dan disini... Midorikawa saya jadiin cewek, gomennasai TTATT
.
Winter's Flower
.
.

-Flashback-

3 tahun yang lalu…

Angin musim dingin bertiup dengan begitu lembut menerka rambut hijauku yang diikat dengan begitu rapi.
Aku terus membaca buku pelajaran matematika yang selalu bertengger di tanganku saat aku dalam perjalanan pulang ataupun berangkat ke sekolah.
#BRUKK!
Tanpa sengaja aku menabrak sesosok pemuda seumuranku karena terlalu fokus pada bukuku.
"Ah! maaf, apa kau terluka?" itulah kalimat pertama yang ia ungkapkan padaku.
Aku menggeleng cepat tanpa memperhatikan wajah pemuda tersebut.
Tapi kuberanikan untuk menatap sosok pemuda dihadapanku.
Dengan seragam yang sama denganku, dan penampilan yang sedikit terkesan acak-acakan itu, tampak sesosok pemuda berambut merah terang sedang menampilkan wajah cemas kearahku.
Aku tak mengenalnya. Tentu saja begitu, karena ini masih awal dari pertemuan kami.
"Ti-tidak apa kok. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Perkenalkan namaku Midorikawa Ryuuji. Kalau kau?" dengan perasaan yang begitu gugup, aku langsung membalas segala ucapannya dengan cepat.
"Oh, aku Kiyama Hiroto. Murid kelas 9-7, Kau kelas berapa Midorikawa?" pemuda itu, Hiroto langsung kembali bertanya denganku mencoba terdengar sedikit akrab.
Aku semakin gelagapan dibuatnya. Tak kusangka pemuda dihadapanku itu seorang kakak kelas yang sampai sekarang belum kukenal.
"A-aku kelas 8-2, aku tak tahu kalau Kak Hiroto itu… senpaiku disekolah. Ma-maaf…"
Kak Hiroto tertawa geli menatapku yang begitu gugup. Dari tawanya mulai muncul tetesan air mata.
Apa tawanya begitu ia tahan sampai membuatnya meneteskan air mata?
"Karena kau sudah memanggilku dengan nama kecilku, mungkin aku akan memanggilmu dengan nama kecilmu juga, Ryuuji-CHAN." Kak Hiroto tersenyum dengan begitu ramah, tapi hawanya terlihat penuh dengan kelicikan.

Kak Hiroto semakin hari semakin akrab denganku. Terkadang ia terlihat begitu menyebalkan dengan sikap cerobohnya itu.
Tapi senyumnya selalu saja membuatku melupakan segala penat di hati dan di otakku.
Kalau saja aku punya kakak seperti dia… rasanya itu tak akan terjadi, Kak Hiroto bukanlah image yang cocok untuk menjadi seorang kakak, apa dia lebih cocok jadi… seorang kekasih…
Ah! Aku mikir apaan sih!?
"Ryuuji! Lihat! Ada bunga musim dingin! Indah ya…" teriakan Kak Hiroto berhasil menghancurkan lamunanku dari benakku.
Dengan cepat kuhampiri sosok senpaiku itu. Dan langsung menatap takjub kearah benda yang sedari tadi ia ucapkan.
"Indah"
"Ya kan? Hmm, Ryuuji…" Kak Hiroto langsung berbalik dari menjawab menjadi memanggil.
Aku hanya membalasnya sembari menatap bingung kearah Kak Hiroto.
"Rambutmu selalu kau ikat ya…" ujarnya dengan begitu singkat.
"Yah, soalnya kalau tidak diikat akan sangat merepotkan. Memangnya tampak aneh?"
Kak Hiroto kembali tersenyum hangat.
"Tidak, gaya rambutmu cocok kok. Tapi aku penasaran dengan penampilanmu kalau rambutmu tidak diikat." Dengan senyuman yang begitu indah itu ia langsung menjawab seluruh ucapanku.
Aku merona merah mendengar ucapannya. Pertama kalinya ada orang yang mau mengkomentari gaya rambutku.
Beberapa perasaan aneh muncul di otakku. Senang, tapi entah kenapa ada perasaan kesal, dan kecewa yang tercampur dalam hatiku.
"Suatu saat…"
Kak Hiroto tampak bingung mendengar ucapanku. Ia pun mendekatkan wajah putih itu mendekati wajah ini
"Suatu saat, aku akan memperlihatkan senpai gaya rambutku itu. Tapi, ketika aku siap." aku langsung melanjutkan ucapanku sambil menahan rona merah yang muncul di mukaku.
Raut ekspresinya melembut, ia kembali tersenyum dengan cengiran khasnya, dan langsung mengangguk senang.
"Ryuuji, kurasa… tempat ini akan menjadi tempat persembunyian kita. Dibawah pohon sakura tua ini dan dihadapan bunga musim dingin ini." Lanjutnya.
Aku hanya bisa tersenyum senang mendengar ucapannya.
Tak lama setelah itu, butir-butir kristal es mulai berjatuhan. Suhu daerah tempat kami berpijak semakin dingin dan membuatku semakin kedinginan.
"Hatchi!"
"Nih… pakailah, bisa-bisa kau sakit karena kedinginan." Kak Hiroto melepaskan syal merah yang bergantung di lehernya, dan langsung menyerahkannya padaku.
"Ti-tidak usah, lebih baik senpai saja yang pakai. Aku kan masih bisa sekolah walaupun sedang sakit." Aku berusaha menyanggah ucapannya.
Tapi tangan Kak Hiroto langsung membelitkan syal merah itu dileherku, memberikan kehangatan yang cukup kepadaku.
Aroma Kak Hiroto mulai tercium dari syal merahnya. Wajahku kembali merona, tapi kusembunyikan semuan merah itu dibalik syal yang melebihi wajahku.
Kak Hiroto tampak semakin menggigil. Bagaimana mungkin ia meminjamkan syal-nya padaku sementara ia saja tidak mengenakan sarung tangan ataupun syal.
Dengan cepat kuraih tangan besarnya dan kumasukkan kedalam saku jaketku yang telah kuisi dengan pemanas instan.
"Tenang saja, aku sudah memberikan pemanas instan didalam jaketku." Jelasku sembari mengangkat syal-nya berusaha menutupi rona yang tampak jelas diwajahku.
"Maaf…"
Sepatah kata keluar dari mulut Kak Hiroto. Membuatku menatap kearah sumber suara.
"Maaf sudah merepotkanmu…" ujarnya singkat dengan wajah yang telah memerah semerah buah apel.
Aku tertawa geli menatapnya. Dengan wajah yang selalu tersenyum ceria seperti itu, ia tak pernah menampilkan wajah yang merona malu seperti ini.
Rasanya seperti ada perasaan baru yang muncul di benakku.

Musim dingin semakin memasuki pertengahan. Sebuah pesan singkat muncul di Hp-ku.
Dengan cepat kubuka dan kubalas pesan yang berasal dari senpai-ku itu.
From: Kak Hiroto
To: Ryuuji
Subject: There's something I need to tell you
Ryuuji, bisa datang ke depan bunga itu tidak? Ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu. Tolong balas… ASAP
-Hiroto.

From: Ryuuji
To: Kak Hiroto
Subject: (Re:) There's something I need to tell you
Ya, aku segera kesana. Mungkin sekitar 10 menit lagi aku akan sampai.

Dengan cepat aku langsung bergegas mengambil topi rajut, beserta jaket dan syalku yang tersusun rapi di atas meja dan lemari pakaianku.

Sosok Kak Hiroto telah tampak, raut wajahnya tampak sedih dari kejauhan. Aku menjadi sedikit mengkhawatirkan keadaannya.
Tapi dengan cepat kuraih pundaknya dan kusapa dia dengan lembut.
"Kak Hiroto, apa yang ingin senpai sampaikan?" tanyaku penasaran.
Ia tersenyum kembali dengan senyuman khasnya.
Pertanyaanku terpotong saat tiba-tiba ia mengecup bibirku dengan lembut. Aku tersontak kaget melihat tindakannya, tapi kubiarkan saja tanpa ada perasaan menolak.
"Kak… apa maksudnya tadi?" tanyaku setelah mendapatkan hadiah yang begitu mengejutkan itu.
Ia kembali tersenyum tapi senyum itu hilang setelah ia menampilkan wajah yang begitu serius.
"Tidakkah kau menyadari dengan apa yang kulakukan tadi? Aku melakukannya untuk mengungkapkan perasaanku padamu. Ryuuji, aku menyukaimu… Will you be my girlfriend?" tanyanya dengan wajah yang begitu serius.
Air mataku langsung terjatuh. Perasaan kaget dan senang terus bercampur aduk didalam hatiku. Aku langsung mengangguk dengan begitu senang.

Beberapa hari berlalu, perasaan kami yang terus bersatu, terus-menerus mendekatkan kami antar satu sama lain.
Tapi itu semua berlalu dengan begitu cepat. Ditengah musim dingin dimana salju-salju menari-nari diudara dengan indahnya, Kak Hiroto meninggal karena sebuah kecelakaan lalu lintas yang begitu parah.
Aku tidak bisa menerima kenyataan yang telah terjadi. Kulalui jalan dengan tujuan ke tempat persembunyian kami. Dengan butir-butir kristal bening yang terus mengalir dari mataku.
Aku tak dapat menahan segala perasaan yang berkecamuk dihati. Kami baru saja memulai kehidupan dengan rasa yang berbeda tapi secepat itu pula kau hentikan hubungan kami.
Kutatap kembali bunga musim dingin yang masih tumbuh dihadapan pohon sakura itu. Terbayang senyum ceria Kak Hiroto dibenakku.
"Ryuuji..."
"Hahaha, kau terlalu sensitif tentang hal itu."
"Lihat, pemandangannya indah lho..."
Kata demi kata yang sering ia lontarkan kepadaku mulai terukir kembali diotakku. Membuat butiran kristal bening itu tak dapat dihentikan.
Kuusap dengan cepat kedua mataku sembari menghilangkan air mata itu. Kugerakkan bibirku dengan paksa walaupun kalimat itu akan terhapus dengan kedatangan air mataku lagi.
"Kak Hiroto… Aku juga mencintaimu…" bisikku pelan sembari menatap langit gelap itu. Ya, aku tahu kau takkan bisa mendengarku. Tapi, hanya ini yang bisa kubayangkan.
Perasaanku yang bagaikan salju yang menari-nari diudara, kini telah hilang bersama hilangnya kehadiran dirimu. Bersama musim dingin yang akan hilang dalam hitungan detik ini.
Kuharap kau dapat kembali hadir disisiku lagi… menemaniku disini, disampingku, selalu dan selamanya. Dan tak ada lagi satu hal di dunia ini yang dapat memisahkan patahan kenangan ini.

-End of Flashback-

Kutersenyum menatap langit biru dimusim dingin ini, mengingat kembali kenangan dari bunga musim dingin yang telah hilang beberapa tahun lalu. Langkahku terdengar hampa dan pelan, semua di hidup ini hanya menyisakan beberapa perasaan singkat setelah kak Hiroto pergi. Dan sekarang, mungkin aku akan membuat satu-persatu keping kenangan itu hilang.
Tentunya itu hanya buwalan belaka. Aku tersenyum kembali setelah mendaratkan setapak kaki ini tuk menuju sebuah pohon tua yang sama sekali tak memiliki daun sama sekali. Jemari ini mengelus sejenak dan menepuk batang lapuk tersebut. “Sebentar lagi kita tidak akan bertemu jua ya... padahal kau satu-satunya kenangan terakhir yang tersisa.” Aku mendesah perlahan dan kembali menggerakkan jemari itu mengelilingi batang itu. Pergerakan ini berhenti ketika menemukan sebuah ukiran kecil pada batang itu.
“Hiroto dan Ryuuji. Dengan kisah yang terus berlanjut ini, aku akan terus mencintainya. –Hiroto-“ Aku menundukkan helaian hijau yang sengaja tidak kuikat hari ini. Sebuah senyum pahit terulum dengan paksa di paras ini. Kristal-kristal bening ini pun kembali terbendung ketika nama itu membayangi tiap pemikiran ini. Aku berusaha untuk tertawa hambar, tapi apa dayanya diri ini hanya berhasil untuk mengulum senyum dan tak berkata apapun.  
Kak Hiroto... dia adalah orang yang menyebalkan akan tetapi aku akan terus menyukainya dan juga kata-kata manis yang ia ungkapkan padaku. Maka dari itu, walaupun segalanya telah memisahkanku. Kumohon, hanya satu ini pintaku... tetaplah menjadi Kak Hiroto yang kucintai walaupun aku tidak dapat melihat sosok itu sama sekali.
"Ryuuji, kau seperti bunga dimusim dingin ya. Indah dan menghangatkan hati ditengah dinginnya musim dingin."

Fanfiction 4: Recit



Recit
.
Author: Yugure Akage
Summary: Ini adalah kisah tentang mereka berdua. Tidak, ini kisah kami bertiga
.
Aku sudah selesai dengan kertas ulanganku –itu adalah soal yang mudah, tidak perlu waktu lama untuk mengerjakannya; hanya lima belas menit, bahkan kurang. Sungguh, aku bosan. Sekumpulan soal ulangan Bahasa inggris itu tidak membuatku terhibur sedikitpun; kondisiku tetap sama seperti saat menginjakkan kaki di kawasan sekolah ini. Bosan. Sekolah, belajar, pulang, mengerjakan pr dan bersih-bersih. Aku bosan dengan rutinitas monoton itu; semua itu membuatku tidak merasakan gairah hidup.
Aku menatap ke arah jendela di sampingku, aku menatap lurus ke bawah; halaman belakang sekolah yang ditumbuhi rumput hijau dan pepohonan yang rimbun. Kosong, tidak ada apapun di sana kecuali hembusan angin yang menerbangkan dedaunan kering –
–Dan baru saja aku ingin memalingkan wajah, suara tawa yang samar ditangkap oleh telingaku.
Di sana, di hamparan rumput yang membentuk karpet hijau yang membentang luas itu, terlihat seorang anak laki-laki bersurai perak tengah berlari. Senyum semangat terukir manis di wajahnya. Sesaat kemudian, seorang bocah yang kelihatan seumur dengannya, muncul di belakang Si Bocah Perak; dia mengejar temannya sambil mengoceh tidak jelas –tepatnya, aku tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang diucapkan bocah berambut hitam itu. Sepertinya mereka adalah murid SMP Hunter; keduanya memakai gakuran sekolah ini.
Aku membuka jendela di sampingku, keinginan untuk melihat mereka lebih jelas muncul di benakku.
Saat jaraknya sudah cukup dekat dengan sang sahabat, bocah berambut hitam itu melemparkan semangkuk pie, dan mengenai kepala belakang bocah berambut perak jabrik dengan telak. Aku tersentak. Hei, bagaimana bisa mereka yang dengan mudahnya melempar makanan?
Si korban serangan pie dadakan pun menoleh ke belakang dengan wajah kesal, menyadari tanda bahaya, si pelaku serangan langsung berlari setelah melemparkan senyum garing. Anak bersurai putih itu mengejarnya sambil berteriak; dan kali ini aku dapat mendengar umpatan yang keluar dari mulut anak perak yang marah itu.
"Sialan kau! Rambutku jadi kotor! Kau harus membayar! Layani aku selama seminggu!"
"Tapi yang memulai kau! Bajuku kotor karena hujan kuah mie-mu!"
Aku terkekeh kecil melihat tingkah mereka. Entah kenapa, mengamati dua orang itu membuatku sedikit terhibur.
Selanjutnya, bocah berambut hitam dan bocah berambut perak itu duduk bersama di atas pohon. Pertengkaran ringan mereka terlupakan begitu saja. Keduanya bersantai di sana sambil menikmati angin yang berhembus.
Di saat yang sama, bel istirahat berbunyi.
Aku baru menyadarinya; dua anak itu istirahat sebelum waktunya –membolos.

Aku melihat mereka lagi. Kali ini di koridor.
Keduanya bertengkar.
Entah masalah apa yang mereka perdebatkan kali ini, aku tidak tahu –
–Oh, soal pemenang balapan ke sekolah, ternyata...
Aku itu menghela nafas. Benar-benar masalah yang sepele. Dari tinggi badan, mungkin mereka seumuran denganku... dan kemungkinan juga berada di angkatan yang sama; angkatan 1.
Tingkah mereka sangat kekanakan. Perdebatan yang tadinya hanya tentang siapa pemenang belapan ke sekolah, kini menjadi meluas ke masalah lain –termasuk masalah lempar makanan kemarin.
Tapi aku bukan orang yang munafik; kuakui mereka benar-benar kekanakan, dan perdebatan mereka membuat sebagian orang mengumpat kelakuan mereka. Tapi hei, lihatlah sebentar... dan kau tahu kalau ini sangat lucu, dan menghibur. Aku memutuskan untuk melihat sebentar.
"Retz, kemari sebentar."
Seorang guru memanggilku. Terpaksa kuakhiri aktifitas menontonku.
Koridor yang awalnya sepi menjadi penuh... dan berisik. Berisik yang tidak menyenangkan.
Bukan berisik menghibur dari mereka.

Hari sabtu... akhirnya hari ini tiba. Kantin tidak penuh hari ini, dan aku bisa membeli roti melon kesukaanku.
Pandanganku langsung terkunci pada dua sosok yang sedang duduk termenung dengan damai, di meja mereka terdapat beberapa makanan dan minuman yang sudah habis.
Aku terperanjat; ini aneh, ada yang salah dengan tingkah mereka. Apakah tidak ada lomba makan seperti biasa? Kalaupun baru saja selesai, seharusnya meja mereka penuh dengan puluhan piring bekas makanan –tapi kenyataannya hanya sedikit piring kecil dan gelas di meja mereka. Ini sungguh membuatku penasaran.
Hanya penasaran, tidak lebih.
Si anak berambut hitam membuka mulutnya –aku tidak dapat mendengarkan apa yang dia ucapkan, dia berkata dengan suara yang sengaja dikecilkan. Wajahnya terlihat sayu dan cemas, juga bingung. Temannya mendengarkan dengan serius, hingga bocah Janken (aku menyebutnya begitu karena anak itu suka main janken-batu gunting kertas) itu selesai dengan perkataannya.
Anak berambut perak menerawang ke atas. Sebelum mengucapkan beberapa patah kata. Dan kali ini aku bersyukur dapat mendengarnya karena anak itu berbicara dengan suara tenang dan monotonnya yang jelas.
"Mungkin... kau bisa mulai berteman dengannya." Dia menghela nafas berat. "Lalu katakan perasaanmu."
Ternyata... anak berambut hitam itu jatuh cinta, eh... sepertinya dengan begitu tingkah kekanakannya akan berkurang.
Begitu juga dengan tontonan penghilang bosanku.
Aku mengambil langkah, tapi pandanganku tetap mengarah pada mereka.
Si bocah perak menatap ke depan.
Dan saat itulah kami bertemu pandang... untuk pertama kalinya.

Ini pertama kalinya aku membolos. Pelajaran seni sungguh membosankan. Belum lagi kepalaku masih lelah karena pelajaran biologi barusan. Dan aku ingin menenangkan semua sarafku dengan hembusan angin yang nyaman. Di sini, di belakang sekolah.
Aku duduk dan bersandar di salah satu batang pohon. Angin sepoi mulai menerpa wajahku. Rasanya sangat nyaman...
Aku dapat mendengarnya –suara mereka sudah sangat akrab di telingaku, walaupun kini jarang kudengar karena mereka sedikit lebih tenang. Bukan hanya Bocah Janken yang kuvonis sedang jatuh cinta, tapi juga Si Bocah Sapphire. Aku tidak tahu kenapa mereka menjadi seperti itu.
Dapat kurasakan, mereka duduk di sisi yang berlawanan dari pohon yang kujadikan sandaran. Sepertinya mereka ingin bicara.
Semoga... hari ini mereka bisa mengusir kebosananku.
"Kalau kau ingin, katakan saja padanya."
"Bukan itu yang ingin kubicarakan..."
Suara yang dulunya penuh semangat dan kepolosan... kini menjadi kosong. Dan menegangkan. Kurasa... kali ini tidak akan menyenangkan.
"Lalu?"
"Ini tentang kau, kau yakin... tidak apa-apa?"
"Apa maksudmu? Tentu saja aku tidak apa-apa, apa salahnya sahabatku menyukai seseorang?"
"Jangan membohongiku dan dirimu seperti itu!"
Keheningan menyelimuti, mereka, maupun aku.
"Kau..."
Suara si anak berambut spike memecah keheningan.
"... Kau juga menyukai Retz, kan?"
Dan kemudian... tidak ada yang bicara.
Aku masih syok di tempatku. Tidak pernah kusangka ternyata kisah dua sahabat itu akan menjadi seperti ini.
Tidak.
Ini bukan kisah tentang mereka. Tetapi kisah tentang kita.