Recit
.
Author: Yugure Akage
Summary: Ini adalah kisah tentang mereka berdua. Tidak, ini kisah kami bertiga
.
Aku sudah selesai dengan kertas ulanganku
–itu adalah soal yang mudah, tidak perlu waktu lama untuk mengerjakannya; hanya
lima belas menit, bahkan kurang. Sungguh, aku bosan. Sekumpulan soal ulangan
Bahasa inggris itu tidak membuatku terhibur sedikitpun; kondisiku tetap sama
seperti saat menginjakkan kaki di kawasan sekolah ini. Bosan. Sekolah, belajar,
pulang, mengerjakan pr dan bersih-bersih. Aku bosan dengan rutinitas monoton
itu; semua itu membuatku tidak merasakan gairah hidup.
Aku menatap ke arah jendela di sampingku,
aku menatap lurus ke bawah; halaman belakang sekolah yang ditumbuhi rumput
hijau dan pepohonan yang rimbun. Kosong, tidak ada apapun di sana kecuali
hembusan angin yang menerbangkan dedaunan kering –
–Dan baru saja aku ingin memalingkan wajah,
suara tawa yang samar ditangkap oleh telingaku.
Di sana, di hamparan rumput yang membentuk
karpet hijau yang membentang luas itu, terlihat seorang anak laki-laki bersurai
perak tengah berlari. Senyum semangat terukir manis di wajahnya. Sesaat kemudian,
seorang bocah yang kelihatan seumur dengannya, muncul di belakang Si Bocah
Perak; dia mengejar temannya sambil mengoceh tidak jelas –tepatnya, aku tidak
dapat mendengar dengan jelas apa yang diucapkan bocah berambut hitam itu.
Sepertinya mereka adalah murid SMP Hunter; keduanya memakai gakuran
sekolah ini.
Aku membuka jendela di sampingku, keinginan
untuk melihat mereka lebih jelas muncul di benakku.
Saat jaraknya sudah cukup dekat dengan sang
sahabat, bocah berambut hitam itu melemparkan semangkuk pie, dan mengenai
kepala belakang bocah berambut perak jabrik dengan telak. Aku tersentak. Hei,
bagaimana bisa mereka yang dengan mudahnya melempar makanan?
Si korban serangan pie dadakan pun menoleh
ke belakang dengan wajah kesal, menyadari tanda bahaya, si pelaku serangan
langsung berlari setelah melemparkan senyum garing. Anak bersurai putih itu
mengejarnya sambil berteriak; dan kali ini aku dapat mendengar umpatan yang
keluar dari mulut anak perak yang marah itu.
"Sialan kau! Rambutku jadi kotor! Kau
harus membayar! Layani aku selama seminggu!"
"Tapi yang memulai kau! Bajuku kotor
karena hujan kuah mie-mu!"
Aku terkekeh kecil melihat tingkah mereka.
Entah kenapa, mengamati dua orang itu membuatku sedikit terhibur.
Selanjutnya, bocah berambut hitam dan bocah
berambut perak itu duduk bersama di atas pohon. Pertengkaran ringan mereka
terlupakan begitu saja. Keduanya bersantai di sana sambil menikmati angin yang
berhembus.
Di saat yang sama, bel istirahat berbunyi.
Aku baru menyadarinya; dua anak itu
istirahat sebelum waktunya –membolos.
Aku melihat mereka lagi. Kali ini di
koridor.
Keduanya bertengkar.
Entah masalah apa yang mereka perdebatkan
kali ini, aku tidak tahu –
–Oh, soal pemenang balapan ke sekolah,
ternyata...
Aku itu menghela nafas. Benar-benar masalah
yang sepele. Dari tinggi badan, mungkin mereka seumuran denganku... dan
kemungkinan juga berada di angkatan yang sama; angkatan 1.
Tingkah mereka sangat kekanakan. Perdebatan
yang tadinya hanya tentang siapa pemenang belapan ke sekolah, kini menjadi meluas
ke masalah lain –termasuk masalah lempar makanan kemarin.
Tapi aku bukan orang yang munafik; kuakui
mereka benar-benar kekanakan, dan perdebatan mereka membuat sebagian orang
mengumpat kelakuan mereka. Tapi hei, lihatlah sebentar... dan kau tahu kalau ini
sangat lucu, dan menghibur. Aku memutuskan untuk melihat sebentar.
"Retz, kemari sebentar."
Seorang guru memanggilku. Terpaksa kuakhiri
aktifitas menontonku.
Koridor yang awalnya sepi menjadi penuh...
dan berisik. Berisik yang tidak menyenangkan.
Bukan berisik menghibur dari mereka.
Hari sabtu... akhirnya hari ini tiba.
Kantin tidak penuh hari ini, dan aku bisa membeli roti melon kesukaanku.
Pandanganku langsung terkunci pada dua
sosok yang sedang duduk termenung dengan damai, di meja mereka terdapat beberapa
makanan dan minuman yang sudah habis.
Aku terperanjat; ini aneh, ada yang salah
dengan tingkah mereka. Apakah tidak ada lomba makan seperti biasa? Kalaupun
baru saja selesai, seharusnya meja mereka penuh dengan puluhan piring bekas
makanan –tapi kenyataannya hanya sedikit piring kecil dan gelas di meja mereka.
Ini sungguh membuatku penasaran.
Hanya penasaran, tidak lebih.
Si anak berambut hitam membuka mulutnya
–aku tidak dapat mendengarkan apa yang dia ucapkan, dia berkata dengan suara
yang sengaja dikecilkan. Wajahnya terlihat sayu dan cemas, juga bingung.
Temannya mendengarkan dengan serius, hingga bocah Janken (aku menyebutnya
begitu karena anak itu suka main janken-batu gunting kertas) itu selesai dengan
perkataannya.
Anak berambut perak menerawang ke atas.
Sebelum mengucapkan beberapa patah kata. Dan kali ini aku bersyukur dapat
mendengarnya karena anak itu berbicara dengan suara tenang dan monotonnya yang
jelas.
"Mungkin... kau bisa mulai berteman
dengannya." Dia menghela nafas berat. "Lalu katakan perasaanmu."
Ternyata... anak berambut hitam itu jatuh
cinta, eh... sepertinya dengan begitu tingkah kekanakannya akan berkurang.
Begitu juga dengan tontonan penghilang
bosanku.
Aku mengambil langkah, tapi pandanganku
tetap mengarah pada mereka.
Si bocah perak menatap ke depan.
Dan saat itulah kami bertemu pandang...
untuk pertama kalinya.
Ini pertama kalinya aku membolos. Pelajaran
seni sungguh membosankan. Belum lagi kepalaku masih lelah karena pelajaran
biologi barusan. Dan aku ingin menenangkan semua sarafku dengan hembusan angin
yang nyaman. Di sini, di belakang sekolah.
Aku duduk dan bersandar di salah satu
batang pohon. Angin sepoi mulai menerpa wajahku. Rasanya sangat nyaman...
Aku dapat mendengarnya –suara mereka sudah
sangat akrab di telingaku, walaupun kini jarang kudengar karena mereka sedikit
lebih tenang. Bukan hanya Bocah Janken yang kuvonis sedang jatuh cinta, tapi
juga Si Bocah Sapphire. Aku tidak tahu kenapa mereka menjadi seperti itu.
Dapat kurasakan, mereka duduk di sisi yang
berlawanan dari pohon yang kujadikan sandaran. Sepertinya mereka ingin bicara.
Semoga... hari ini mereka bisa mengusir
kebosananku.
"Kalau kau ingin, katakan saja
padanya."
"Bukan itu yang ingin
kubicarakan..."
Suara yang dulunya penuh semangat dan
kepolosan... kini menjadi kosong. Dan menegangkan. Kurasa... kali ini tidak
akan menyenangkan.
"Lalu?"
"Ini tentang kau, kau yakin... tidak
apa-apa?"
"Apa maksudmu? Tentu saja aku tidak
apa-apa, apa salahnya sahabatku menyukai seseorang?"
"Jangan membohongiku dan dirimu
seperti itu!"
Keheningan menyelimuti, mereka, maupun aku.
"Kau..."
Suara si anak berambut spike memecah
keheningan.
"... Kau juga menyukai Retz,
kan?"
Dan kemudian... tidak ada yang bicara.
Aku masih syok di tempatku. Tidak pernah
kusangka ternyata kisah dua sahabat itu akan menjadi seperti ini.
Tidak.
Ini bukan kisah tentang mereka. Tetapi
kisah tentang kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar