Hujan
.
Fairy
Tail © Hiro Mashima
Warning(s)
– OOC. Ide mainstream. AU. Oneshoot. Alur hancur. Chara Death. Etc
Terakhir;
Don’t like, don’t read!
(Saya
sudah peringatkan, kalo emang nggak suka –ama pair atau genrenya–, close tab
ato tekan back aja. Jangan pake nge-flame, I’ve already warn you)
Author: Akage Yugure
Berawal dari hujan, dan berakhir pada hujan.
Sepasang kaki jenjang melangkah tergesa-gesa
di tengah hujan. Payung merah jambu digenggam erat-erat.
Sungguh, gadis itu benci dengan yang
namanya hujan; baginya, hujan tak lebih dari sekedar pengganggu; perusak hari
cerah. Langit biru jauh lebih indah dari langit kelabu. Air dingin di genangan
tepercik ke segala arah kala sentakan menghantam.
Dan sebuah percikan mendarat di roknya.
Rasa tak senang terlihat di wajah. Langkah
dipercepat.
Namun menambah kecepatan berarti menambah
resiko; kaki tergelincir tanah basah, keseimbangan hilang. Tinggal menunggu
detik; tubuh ramping akan terjatuh dalam dekapan tanah yang bercampur air
hujan.
Selanjutnya, hanya suara tinggi tanpa
artilah yang keluar dari bibir.
Grebb!
Mata terpejam, menunggu punggungnya mencium
bumi. Namun bukan rasa dingin tanah yang merengkuh, melainkan rasa hangat di
pinggang dan kepala; menahannya tetap di udara. Perlahan, Si Gadis Pirang
membuka kelopak mata.
Pemuda bersurai merah jambu; adalah hal
pertama yang ditangkap sepasang kelereng karamel itu. Dia menatap datar pada
sang gadis yang setengah berbaring di lengannya, kemudian senyum lebar
mengembang; menyapa Si Gadis Pirang.
“Lain kali hati-hati, ya!”
Lucy terperangah, ia merasa wajahnya
memanas. Segera, ia bangkitkan raga, payung pink ditegakkan kembali. Nafas
dihela, senyum menghias.
“Uhn, terima kasih. Aku Lucy, Lucy
Heartfilia.”
“Natsu Dragneel.” balasnya, seraya
membenarkan posisi payung cokelat. Kaki
mulai melangkah, diikuti gadis yang baru berkenalan dengannya beberapa detik
silam.
Langkah pelan membawa diri ke sekolah. Tak
ada perubahan tempo; monoton, sekalipun tangisan langit semakin menjadi.
Pemilik helai pirang menoleh ke arah
samping. Raut melembut, senyum yang sama lembut mengembang. Ditatapnya lekat
Sang Pemuda Pink. Semburat merah bersarang di kedua pipi.
Angin menghantam kulit –tak membuatnya
terganggu; berkat atmosfer hangat yang menyelimuti.
Tatapan dialihkan ke atas. Ia tersenyum
pada langit kelabu.
Pandangannya terhadap hujan, kini berubah.
Di musim dingin itu, ia berada di tempat
menunggu bus.
Wajah datar; tanpa ekspresi. Namun rasa
antusias terpancar dari permata karamel. Lengan dirapatkan; mengusir dingin
yang menusuk. Sebuah bus berhenti.
Senyum mengembang seketika hilang. Bus
sudah menjauh.
Tanpa menurunkan seorangpun.
Angin dingin berhembus, serasa membekukan
tiap inci tubuhnya. Wajah dibenamkan pada syal merah muda. Nafas dihembuskan
dari mulut; menciptakan embun tipis. Dapat dirasakannya suhu semakin turun,
namun tak juga ia beranjak dari kursi itu.
Ia hampir putus asa dengan bus yang
berhenti. Tapi manik karamel langsung berbinar saat senyum lima jari
menyapanya. Rasa dingin hilang entah ke mana.
Cengkrama pembawa hangat tanpa sadar
dilakukan; seperti yang selalu mereka lakukan. Diawali permintaan maaf Natsu,
dan diakhiri suatu pemberian dari Lucy. Segitiga riang menghiasi wajah Natsu
saat membuka hadiah teman cantiknya itu.
Syal putih bergaris kini membalut leher.
“Wah, cocok denganmu, Natsu!”
“Ya! Aku suka ini, terima kasih, Lucy!”
Bersama lengkungan manis, gadis pirang
mengangguk.
Mereka meninggalkan tempat menunggu itu.
Berjalan beriringan. Keduanya sudah sepakat, untuk jalan-jalan di tengah salju
di awal musim dingin ini. Hening menyelimuti; hening yang nyaman. Sepoi dingin
tidak menjadi pengganggu –melainkan penyegar; si gadis menikmati udara musim
dingin yang menerpanya.
Sentakkan kecil menjadi reaksi, kala tangan
kekar itu menggenggam tangan kecilnya yang dingin. Ditatapnya wajah tersenyum
yang menatap ke depan itu.
“Aku mencintaimu, Lucy.”
Gadis berhelai matahari tersenyum, sebelum
membalas genggaman Pemuda Musim Panas*
“Aku juga mencintaimu, Natsu.”
Hari itu, hujan lebat melanda.
Tidak ada satupun murid Sekolah Fairy yang
pulang, mereka tetap di gedung sekolah yang hangat; menunggu redanya hujan.
Namun dua sosok berjalan santai menembus
hujan. Di bawah naungan payung, keduanya bercengkrama; menciptakan suasana
hangat yang tak bisa ditembus dinginnya udara dan air hujan.
Suara hujan semakin riuh, terpaksa
cengkrama dihentikan; tidak mudah berbincang di tengah suara berisik. Dibiarkan
irama itu memenuhi pendengaran. Kemudian tangan saling bertaut, menyalurkan
kehangatan masih-masing. Rengkuhan kasih sayang menjalar ke telapak tangan, dan
meluas ke seluruh tubuh.
Di tengah tangisan langit, dua manusia
saling berbagi cinta kasih, dalam dekapan air dan suara yang jatuh.
Tubuh menghangat, seiring wajah yang
merona.
Lucy mengangkat tangannya, sedikit
dikeluarkannya dari kawasan naungan payung. Dia tersenyum merasakan rintik yang
serasa menusuk tangannya. Sungguh lucu mengingat dulu ia sangat membeci hujan,
namun menyukainya sekarang.
“Haruskah kita naik bus?” Natsu bertanya.
Khawatir merasuk hati melihat bibir pasangannya yang agak membiru.
Kepala menggeleng, menolak tawaran. Tanpa
bicara, langkah dilanjutkan. Rel kereta berada di hadapan.
Melihat pagar** yang tegak –menandakan
tidak ada kereta yang akan lewat, sepasang insan itu berjalan menyeberanginya.
Langkah tersendat, Gadis Pirang terkejut
saat sentakkan kecil terasa di tangannya. Berbalik dirinya bersama wajah
bingung. Pemuda ber-syal tersenyum lembut padanya, matanya sedikit sayu. Petir
serasa menusuk hati; kala maniknya melihat senyum itu.
Senyum perpisahan.
Kelereng karamel melirik ke bawah, tubuhnya
lemas seketika. Matanya menatap ngeri kaki Natsu yang tersangkut di rel. Tanpa
disadari, air menggenang di pelupuk.
Selanjutnya yang bisa dirasakan Lucy adalah
dorongan kuat yang membuat dirinya terlempar ke luar kawasan berbahaya itu. Ia
bangkit, namun Pagar kuning-hitam tertutup. Gemuruh kereta terdengar.
Teriakan melengking menyatu dengan gemuruh
petir; mengiringi tubuh yang hancur.
“Hai, maaf terlambat.”
Senyum yang tak seceria dulu menyapanya.
Perih hatinya melihat itu.
“Tidak apa, aku mengerti.” sosok itu
berucap, begitu sendu tatapannya pada si gadis.
Lama mereka terdiam, keheningan canggung
menjadi atmosfer.
Pemuda yang kini tanpa syal merasa sakit;
melihat gadisnya seperti itu; hampa, tak semangat. Berbeda dengan Lucy-nya dua
tahun lalu. Perlahan, dielusnya pipi sang gadis dengan sayang dan lembut.
“Maaf... aku membuatmu menderita –“
ucapnya; suaranya rendah, dan terdengar menyedihkan. Terdengar seperti bukan
Natsu.
“–Ini salahku; aku memang bodoh.”
Lucy membuka matanya, saat itu juga
rengkuhan di pipi hilang. Rintik hujan membasahi bumi. Wajah ditundukkan. Natsu
tahu, ia sedang menangis; namun apa daya, tak ada yang bisa ia lakukan.
“Karena kau, aku mencintai hujan.”
Semakin lebat hujan mengguyur tubuhnya. Diraihnya
tangan pemuda bersurai merah jambu. Namun sosok itu hilang dalam sekejap.
Badan menunduk, mengelus lembut nisan yang
bertuliskan nama seseorang –melihat itu benaknya berteriak pilu; begitu
menyayat.
“Dan karena kau, aku membencinya...
kembali.”
FIN
*Natsu artinya musim panas, kan...
**Dua papan ato apalah itu yang ada di rel
kereta yang nyatu(?) ama jalan raya itu... akh, saya nggak tau namanya. Yang
tau kasih tau ya? ==u
Oke oke! Ini fic NaLu sekaligus hurt
kampret pertama saya di Fandom FT. Yah,
berdasarkan pengamatan saya kok fic NaLu with sad ending sangat sedikit. Jadi
saya nambahin~ Yah, lagi demen ama genre ini, soalnya kokoro ini lagi galau /curhat
Gomen kalo feel-nya nggak kerasa, saya
nggak bakat bikin fic galau apalagi hurtkampretangst dan sejenisnyaaa-aaa-aa-a~
*nyanyi* *diseretReaders*
(Ah, kalau devsky-senpai membaca ini maafkan saya kalo ni fic mirip ama fic
senpai yang judulnya vestige. Saya
bener-bener minta maaf TTATT)
Well, segini aja dulu kemunculan saya di
fandom ini... R&R ya? 8D
Salam galau,
Putri Ngigau (Baca; Putri Tidur gagal)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar